Jumat, 03 April 2015

The Purge: Anarcy - Welcome to America where one night a year all crime is legal

Pernah kepikiran apa yang bakal kejadian kalau ada satu hari di satu tahun dimana semua kejahatan dibolehin buat dilakuin? Pasti bakal banyak perampokan, pembunuhan sama pembegalan dimana mana.

Itulah yg diceritain sama film ‘The Purge:Anarchy’, film ini menceritakan gimana Amerika Serikat memulai sebuah tradisi yang dinilai bisa ampuh ngurangin angka kemiskinan, pengangguran sampe kriminalitas secara signifikan. ‘pembersihan’ digelar yang memnolehkan masyarakat bertindak kriminal dalam kurun waktu 12 jam terhitung sejak pukul 7 malam. Para partisipan dibolehkan untuk berbuat apa saja, dengan catatan engga melukai pejabat tinggi maupun menggunakan senjata pemusnah massal. Bagi warga yang engga mau berburu biasanya nyari aman dengan mengunci rapat-rapat rumahnya meski ini juga engga menjamin mereka terbebas dari sasaran empuk. 

Kemalangan itu datang ke James Sandin (Ethan Hawke), penjual sistem keamanan, beserta keluarga yang tinggal di sebuah perumahan kelas atas tapi kali ini yang jadi korban pendobrakan adalah Eva (Carmen Ejogo) yang tinggal bersama putri semata wayangnya, Cali (Zoe Soul). Biar udah ngebentengin apartemen mungilnya dengan papan, toh akhirnya tetangga Eva yang nyimpan dendam berhasil membobol apartemennya, memupus rencana Eva dan Cali berdiam diri dalam ketenangan di rumah. Keduanya mau tak mau turut terseret ke tradisi sadis yang menggerus habis sisi kemanusiaan ini dan nyaris menjadi bagian dari ‘warga yang dikorbankan’ sebelum akhirnya diselamatin sama Sersan Leo (Frank Grillo) yang punya rencana tersembunyi. Ringkih-ringkihan di jalanan Los Angeles yang tengah membara, ketiga orang asing ini bersama pasangan apes, Shane (Zach Gilford) dan Liz (Kiele Sanchez), mutusin untuk kerja sama untuk bertahan hidup di malam yang mengerikan ini. 

Harus diakuin, premis kreasi James DeMonaco soal pelegalan tindak kriminal dalam satu malam terdengar menggugah, gila, dan ambisius secara bersamaan. Membayangkan destruksi (pula kekacauan) yang ditimbulin dari pelampiasan nafsu manusia yang ga terkontrol membuat imajinasi liar menari-nari riang di kepala. Ada rasa penasaran gimana DeMonaco akan memanifestasi ‘high concept’ yang susah ditolak ini menjadi sebuah bahasa gambar yang mengikat, dan tentunya, sesinting gagasan utamanya. Hanya saja, ekspektasi sebagian penonton yang membumbung tinggi, diruntuhkan DeMonaco begitu saja lewat The Purge yang, errr... kelewat sederhana dan mengada-ada. Ujung-ujungnya tidak lebih dari sebuah film tentang ‘home invasion’ biasa yang sering kita jumpai di genre thriller. Berusaha perbaikin kesalahannya di The Purge pertama, instalmen kedua yang memperoleh embel-embel judul Anarchy ini pun diperluas skalanya. Engga lagi cuman hujaman teror dalam rumah melainkan  membesar menjadi cara bertahan hidup di sudut-sudut kota Los Angeles. Menempatkan para tokoh utama pada posisi Dwayne (Edwin Hodge) seperti di film pertama, berlarian kesana kemari mencari perlindungan. 

Untuk sesaat, ini berhasil. Ada penggambaran lebih utuh untuk penonton soal bagaimana tradisi pembersihan ini dirayakan oleh masyarakat di Amerika Serikat – bukan lagi berwujud narasi basa basi belaka. Tuturan yang dikedepankan pun untuk sekali ini jadi lebih kompleks dengan menghadirkan kaum pemberontak, ‘cult’ yang tumbuh subur di kalangan masyarakat berkantong tebal, serta misi terselubung pemerintah. Menit-menit awal The Purge Anarchy berhasil menahan perhatian, ada ketegangan tercipta saat mobil yang ditumpangi Shane dan Liz mendadak ngadat di tengah jalan sementara sekelompok berandalan bertopeng misterius mengincar atau ketika apartemen Eva dan Cali diterjang. Si pembuat film berhasil mempertahankannya cukup lama ngebiarinin penonton melewati fase deg-degan berulang kali, sesuatu yang tak dimiliki oleh ‘The Purge’ pertama. Tapi lalu, apa yang dikhawatirin pun terjadi. The Purge Anarchy jatuh ke lubang yang sama saat pengisahan mulai terbaca memasuki babak kedua dan film engga pernah bisa bergerak lebih jauh lagi untuk nge-eksplor kegilaan gagasan utamanya. DeMonaco terjebak pada keklisean genre ini, menerapkan formula yang telah bolak-balik diaplikasikan oleh film dari rumpun yang sama sehingga (sekali lagi) premis besar yang dimiliki terbuang sia-sia.

Biar dari segi cerita dianggap sedikit mengecewakan lagi tapi dari segi gambar dan ekspresi para pemain patut diacungi jempol karena jujur waktu saya nonton ini pengambilan gambar dan idenya ngebuat saya takjub. Semoga di the purge the purge setelahnya DeMonaco bisa mengeksplor lebih dalam J



Tidak ada komentar:

Posting Komentar